UPAYA pemberantasan korupsi di negeri sarat korupsi ini sedang
menghadapi ujian dan ancaman sangat serius dari pihak-pihak yang tidak
suka dengan lembaga pemberantasan korupsi KPK yang selama ini dinilai
masyarakat cukup kredibel dan mampu berbuat maksimal dalam pemberantasan
korupsi. Dan DPR-lah salah satu lembaga politik yang paling telanjang
melakukan perlwanan dan serangan politik terhadap KPK.
Anggota DPR sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendukung aspirasi rakyat dalam pemberantasan korupsi, justru terjebak dan menjebakkan diri dalam “gerakan politik” melawan pemberantasan korupsi. Rasionalitas masyarakat tak dapat dibodohi. Solidaritas dan gerakan politik dari Komisi III DPR RI yang mengusir dua komisioner KPK, Bibit-Chandra, tak dapat dilepaskan dari langkah tegas KPK menahan 19 anggota dan mantan anggota DPR yang tersangkut kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, Miranda Goeltom pada tahun 2004.
Anggota Komisi III mengusir dua komisioner KPK tersebut karena dinilai tidak etis dan bermoral. Dalam pandangan politik Komisi III DPR, ketetapan hukum deponeering (pengesampingan perkara) yang dikeluarkan Jaksa Agung kepada Bibit-Chandra dinilai tidak menggugurkan statusnya sebagai tersangka. Status tersangka masih saja melekat pada diri keduanya, demikian, ocean politik dari anggota DPR. Namun, ocean politik para anggota dewan ini terlihat absurd, karena pada saat yang sama dan di lain kesempatan, tidak sedikit anggota dewan yang berstatus tersangka bahkan terdakwa, tanpa “malu-malu” masih duduk sebagai anggota dewan dan mengikuti rapat resmi dewan, diantaranya melakukan fit and pro test terhadap beberapa komisi negara, termasuk KPK. Bahkan dalam sejarah DPR, DPR pernah di pimpin oleh seorang tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Pernyataannya, siapa sebenarnya yang tidak beretika dan bermoral? Anggota DPR atau KPK?
Ketetapan deponeering adalah keputusan hukum yang bersifat final, memiliki legalitas hukum yang kuat. Dan status hukum Bibit-Chandra clear. Namun legalitas hukum ini coba dicari-cari kelemahannya secara subjektif oleh anggota DPR untuk dijadikan senjata politik untuk menyerangnya. Argumentasi politik dan hukum dari anggota DPR terlihat terlalu mengada-ada, tidak berdasar, sangat rapuh dan sarat kepentingan politik. Karena itu, sangat beralasan jika publik menilai perlawanan dan serangan politik anggota dewan tersebut sebagai upaya balas dendam DPR terhadap KPK yang telah menahan 19 politisi sebelumnya.
Perlawanan dan serangan politik dari DPR ternyata tidak menyurutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terus mengusut para tersangka kasus suap tersebut dari kalangan DPR. Terbukti, KPK kembali menahan satu mantan aggota DPR dari Fraksi Golkar, Hengky Baramuli. Dengan tambahan satu tersangka yang ditahan ini, hingga kini KPK telah menjebloskan anggota dan mantan anggota sebanyak 24 politisi terkait dengan kasus suap DGS.
Kinerja KPK
Dalam sejarah berdirinya KPK sampai sekarang, belum ada satupun pejabat negara dan swasta yang lolos dari jeratan hukum KPK. Para pejabat negara yang disidik KPK sampai ke pengadilan, tidak ada satupun yang lolos, semuanya berakhir jadi terpidana dan masuk hotel prodeo. KPK menyatakan mulai 2005-2009 sudah 17 anggota DPR, tiga mantan menteri, lima gubernur, satu gubernur BI ditambah empat deputinya, 17 bupati/walikota, enam komisioner, tiga duta besar, satu mantan Kapolri, dua hakim, 50 pejabat eselon I dan II, 25 pengusaha dan satu penyidik KPK yang mendapat vonis pengadilan Tipikor dan masuk tahanan. Sering dengan semakin banyak pada pejabat negara yang dijadikan tersangka dalam berbagai kasus korupsi dan di tahan KPK, maka akan semakin banyak pula pejabat negara yang akan menjadi terpidana. Dengan kata lain, penindakan KPK sudah menusuk pada episentrum korupsi. Tak ada pejabat di negeri ini yang kebal hukum di hadapan KPK.
Kinerja Pengadilan Tipikor telah memberikan harapan baru bagi pemberantasan korupsi. Terhadap seluruh terdakwa yang diajukan oleh KPK, tidak satu pun yang dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor. Berdasarkan laporan tahunan Pengadilan Tipikor dan KPK (2007), semua perkara korupsi (59) yang dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor divonis bersalah. Rata-rata divonis 4,4 tahun. Begitu juga pada semester awal 2008. PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM mencatat 14 kasus divonis bersalah dengan rata-rata hukuman 4,32 tahun. Semua pelaku korupsi sejak ditetapkan sebagai tersangka langsung ditahan sehingga tidak membuka peluang untuk melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Bandingkan dengan kinerja aparat penegak konvensional Menurut data laporan Komisi Yudisial (KY), selama periode September 2006-Februari 2007, dari 77 putusan kasus korupsi, 24 perkara (31 persen) diputus bebas oleh Pengadilan Negeri. Memperkuat laporan KY, ICW mencatat tren putusan bebas untuk kasus korupsi tahun 2005 hingga Juni 2008 di peradilan umum terus meningkat. Pada 2005, 22,22 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas di peradilan umum (54 orang). Meningkat menjadi 32,13 persen atau 116 terdakwa di tahun 2006. Kembali mengalami kenaikan mencapai 56,84 persen atau 212 orang di tahun 2007 dan 104 terdakwa korupsi kembali divonis bebas hingga Juni 2008. Artinya dari total 1.184 terdakwa kasus korupsi yang dapat dipantau ICW, sebagian besar divonis bebas dan sebagian lainnya dihukum relatif ringan.
Atas prestasi KPK tersebut, ada pihak-pihak yang tidak senang, nyaman, dan bahkan sudah berani melakukan serangan balik cukup sistematis dan massif agar KPK, tidak saja dilemahkan tapi juga yakni dibubarkan. Kehadiran KPK dianggap sebagai “benalu” yang akan mengancam keberadaan para koruptor di Indonesia.
Selamatkan KPK
Saat ini satu-satunya lembaga penegak hukum yang dinilai kredibel dalam pemberantasan korupsi adalah KPK. Lembaga-lembaga pemnegak hukum konvensional, seperti kepolisian, kejaksanaan, pengadilan, sarat masalah dan sering jadi sumber masalah dalam agenda pemberantasan korupsi. Satu-satunya lembaga yang paling diharapkan adalah KPK.
Karena itu, upaya sistematis dan masif yang coba dilakukan pihak-pihak tertentu yang tidak suka pada KPK, harus dilawan secara kolektif. Perlu adanya dukungan moral dan politik dari semua pihak terutama kelompok-kelompok masyarakat antikorupsi terhadap KPK. Keberadaan KPK harus diselamatkan dari tangan-tangan kotor para koruptor. Peran dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan dan mari kita beri dukungan yang kuat kepada KPK. Selamatkan KPK dan gayang koruptor..!
Anggota DPR sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendukung aspirasi rakyat dalam pemberantasan korupsi, justru terjebak dan menjebakkan diri dalam “gerakan politik” melawan pemberantasan korupsi. Rasionalitas masyarakat tak dapat dibodohi. Solidaritas dan gerakan politik dari Komisi III DPR RI yang mengusir dua komisioner KPK, Bibit-Chandra, tak dapat dilepaskan dari langkah tegas KPK menahan 19 anggota dan mantan anggota DPR yang tersangkut kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia, Miranda Goeltom pada tahun 2004.
Anggota Komisi III mengusir dua komisioner KPK tersebut karena dinilai tidak etis dan bermoral. Dalam pandangan politik Komisi III DPR, ketetapan hukum deponeering (pengesampingan perkara) yang dikeluarkan Jaksa Agung kepada Bibit-Chandra dinilai tidak menggugurkan statusnya sebagai tersangka. Status tersangka masih saja melekat pada diri keduanya, demikian, ocean politik dari anggota DPR. Namun, ocean politik para anggota dewan ini terlihat absurd, karena pada saat yang sama dan di lain kesempatan, tidak sedikit anggota dewan yang berstatus tersangka bahkan terdakwa, tanpa “malu-malu” masih duduk sebagai anggota dewan dan mengikuti rapat resmi dewan, diantaranya melakukan fit and pro test terhadap beberapa komisi negara, termasuk KPK. Bahkan dalam sejarah DPR, DPR pernah di pimpin oleh seorang tersangka dan terdakwa kasus korupsi. Pernyataannya, siapa sebenarnya yang tidak beretika dan bermoral? Anggota DPR atau KPK?
Ketetapan deponeering adalah keputusan hukum yang bersifat final, memiliki legalitas hukum yang kuat. Dan status hukum Bibit-Chandra clear. Namun legalitas hukum ini coba dicari-cari kelemahannya secara subjektif oleh anggota DPR untuk dijadikan senjata politik untuk menyerangnya. Argumentasi politik dan hukum dari anggota DPR terlihat terlalu mengada-ada, tidak berdasar, sangat rapuh dan sarat kepentingan politik. Karena itu, sangat beralasan jika publik menilai perlawanan dan serangan politik anggota dewan tersebut sebagai upaya balas dendam DPR terhadap KPK yang telah menahan 19 politisi sebelumnya.
Perlawanan dan serangan politik dari DPR ternyata tidak menyurutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terus mengusut para tersangka kasus suap tersebut dari kalangan DPR. Terbukti, KPK kembali menahan satu mantan aggota DPR dari Fraksi Golkar, Hengky Baramuli. Dengan tambahan satu tersangka yang ditahan ini, hingga kini KPK telah menjebloskan anggota dan mantan anggota sebanyak 24 politisi terkait dengan kasus suap DGS.
Kinerja KPK
Dalam sejarah berdirinya KPK sampai sekarang, belum ada satupun pejabat negara dan swasta yang lolos dari jeratan hukum KPK. Para pejabat negara yang disidik KPK sampai ke pengadilan, tidak ada satupun yang lolos, semuanya berakhir jadi terpidana dan masuk hotel prodeo. KPK menyatakan mulai 2005-2009 sudah 17 anggota DPR, tiga mantan menteri, lima gubernur, satu gubernur BI ditambah empat deputinya, 17 bupati/walikota, enam komisioner, tiga duta besar, satu mantan Kapolri, dua hakim, 50 pejabat eselon I dan II, 25 pengusaha dan satu penyidik KPK yang mendapat vonis pengadilan Tipikor dan masuk tahanan. Sering dengan semakin banyak pada pejabat negara yang dijadikan tersangka dalam berbagai kasus korupsi dan di tahan KPK, maka akan semakin banyak pula pejabat negara yang akan menjadi terpidana. Dengan kata lain, penindakan KPK sudah menusuk pada episentrum korupsi. Tak ada pejabat di negeri ini yang kebal hukum di hadapan KPK.
Kinerja Pengadilan Tipikor telah memberikan harapan baru bagi pemberantasan korupsi. Terhadap seluruh terdakwa yang diajukan oleh KPK, tidak satu pun yang dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor. Berdasarkan laporan tahunan Pengadilan Tipikor dan KPK (2007), semua perkara korupsi (59) yang dilimpahkan KPK ke Pengadilan Tipikor divonis bersalah. Rata-rata divonis 4,4 tahun. Begitu juga pada semester awal 2008. PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM mencatat 14 kasus divonis bersalah dengan rata-rata hukuman 4,32 tahun. Semua pelaku korupsi sejak ditetapkan sebagai tersangka langsung ditahan sehingga tidak membuka peluang untuk melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Bandingkan dengan kinerja aparat penegak konvensional Menurut data laporan Komisi Yudisial (KY), selama periode September 2006-Februari 2007, dari 77 putusan kasus korupsi, 24 perkara (31 persen) diputus bebas oleh Pengadilan Negeri. Memperkuat laporan KY, ICW mencatat tren putusan bebas untuk kasus korupsi tahun 2005 hingga Juni 2008 di peradilan umum terus meningkat. Pada 2005, 22,22 persen terdakwa kasus korupsi divonis bebas di peradilan umum (54 orang). Meningkat menjadi 32,13 persen atau 116 terdakwa di tahun 2006. Kembali mengalami kenaikan mencapai 56,84 persen atau 212 orang di tahun 2007 dan 104 terdakwa korupsi kembali divonis bebas hingga Juni 2008. Artinya dari total 1.184 terdakwa kasus korupsi yang dapat dipantau ICW, sebagian besar divonis bebas dan sebagian lainnya dihukum relatif ringan.
Atas prestasi KPK tersebut, ada pihak-pihak yang tidak senang, nyaman, dan bahkan sudah berani melakukan serangan balik cukup sistematis dan massif agar KPK, tidak saja dilemahkan tapi juga yakni dibubarkan. Kehadiran KPK dianggap sebagai “benalu” yang akan mengancam keberadaan para koruptor di Indonesia.
Selamatkan KPK
Saat ini satu-satunya lembaga penegak hukum yang dinilai kredibel dalam pemberantasan korupsi adalah KPK. Lembaga-lembaga pemnegak hukum konvensional, seperti kepolisian, kejaksanaan, pengadilan, sarat masalah dan sering jadi sumber masalah dalam agenda pemberantasan korupsi. Satu-satunya lembaga yang paling diharapkan adalah KPK.
Karena itu, upaya sistematis dan masif yang coba dilakukan pihak-pihak tertentu yang tidak suka pada KPK, harus dilawan secara kolektif. Perlu adanya dukungan moral dan politik dari semua pihak terutama kelompok-kelompok masyarakat antikorupsi terhadap KPK. Keberadaan KPK harus diselamatkan dari tangan-tangan kotor para koruptor. Peran dan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan dan mari kita beri dukungan yang kuat kepada KPK. Selamatkan KPK dan gayang koruptor..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar