Dahlan iskan |
[JAKARTA] PT Pertamina Persero diimbau untuk
mempertanggungjawabkan tindakannya, yakni terkait dugaan pembobolan uang negara
sekitar US$ 6,349 juta.
Menteri BUMN Dahlan Iskan di Jakarta, Selasa (2/10), mengungkapkan bahwa dana lebih dari US$ 6 juta tersebut merupakan jumlah yang besar, sehingga Pertamina harus mempertanggungjawabkannya. Bila Pertamina mengabaikannya, maka perusahaan ini berpotensi terkena masalah hukum.
"Pertamina yang sudah mengeluarkan uang sebanyak itu harus bisa mempertanggungjawabkannya," kata Dahlan dalam pesan singkatnya kepada wartawan.
Ia menambahkan agar Pertamina jangan sampai menjadi korban permainan dan akal-akalan orang lain. Pertamina juga tidak bisa lagi menjadi sasaran "obyekan" pihak-pihak yang ingin memanfaatkan BUMN migas tersebut.
"Orang lain boleh pintar, tetapi Pertamina tidak boleh bodoh," tegasnya.
Dahlan mengakui bahwa ksus ini merupakan kasus masa lalu, sekaligus bukan tindakan yang dilakukan oleh jajaran direksi Pertamina sekarang. Kendati masa lalu, namun dana yang dikeluarkan Pertamina harus diselamatkan.
"Pertamina tidak bisa menunggu dan menunggu begitu saja. Harus aktif mengupayakan apakah secara komersial atau secara hukum agar Pertamina tidak dikira bekerja sama dan kolusi dengan pihak-pihak tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Gerakan Indonesia Bersih (GIB) mengungkapkan, Pertamina dan Pandan Wangi Sekartadji diduga melakukan pembobolan uang negara dengan mekanisme pembayaran dari Pertamina sekitar 6,349 juta dolar AS (tahap I) kepada PT PWS sebagai landasan hukum pelaksanaan pembayaran ganti rugi.
GIB beranggapan negara dirugikan, karena seharusnya Pertamina tidak perlu buru-buru membayar ganti rugi tersebut, apalagi aset non tanah berupa dokumen-dokumen yang tidak setara dengan jumlah tersebut tidak dapat menguasai aset non tanah sepenuhnya.
GIB menegaskan, Pertamina tidak bisa menguasai aset tersebut karena masih ada permasalahan tentang pemegang sertifikat tanah proyek Depo Minyak Balaraja tersebut, yang hingga saat ini masih dikuasai oleh pengusaha Edward Soeryadjaya, dan sertifikat HGB No. 32 sebagai sertifikat HGB No. 31 yang dilaporkan hilang pada 2000. [Ant/L-8]
Menteri BUMN Dahlan Iskan di Jakarta, Selasa (2/10), mengungkapkan bahwa dana lebih dari US$ 6 juta tersebut merupakan jumlah yang besar, sehingga Pertamina harus mempertanggungjawabkannya. Bila Pertamina mengabaikannya, maka perusahaan ini berpotensi terkena masalah hukum.
"Pertamina yang sudah mengeluarkan uang sebanyak itu harus bisa mempertanggungjawabkannya," kata Dahlan dalam pesan singkatnya kepada wartawan.
Ia menambahkan agar Pertamina jangan sampai menjadi korban permainan dan akal-akalan orang lain. Pertamina juga tidak bisa lagi menjadi sasaran "obyekan" pihak-pihak yang ingin memanfaatkan BUMN migas tersebut.
"Orang lain boleh pintar, tetapi Pertamina tidak boleh bodoh," tegasnya.
Dahlan mengakui bahwa ksus ini merupakan kasus masa lalu, sekaligus bukan tindakan yang dilakukan oleh jajaran direksi Pertamina sekarang. Kendati masa lalu, namun dana yang dikeluarkan Pertamina harus diselamatkan.
"Pertamina tidak bisa menunggu dan menunggu begitu saja. Harus aktif mengupayakan apakah secara komersial atau secara hukum agar Pertamina tidak dikira bekerja sama dan kolusi dengan pihak-pihak tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Gerakan Indonesia Bersih (GIB) mengungkapkan, Pertamina dan Pandan Wangi Sekartadji diduga melakukan pembobolan uang negara dengan mekanisme pembayaran dari Pertamina sekitar 6,349 juta dolar AS (tahap I) kepada PT PWS sebagai landasan hukum pelaksanaan pembayaran ganti rugi.
GIB beranggapan negara dirugikan, karena seharusnya Pertamina tidak perlu buru-buru membayar ganti rugi tersebut, apalagi aset non tanah berupa dokumen-dokumen yang tidak setara dengan jumlah tersebut tidak dapat menguasai aset non tanah sepenuhnya.
GIB menegaskan, Pertamina tidak bisa menguasai aset tersebut karena masih ada permasalahan tentang pemegang sertifikat tanah proyek Depo Minyak Balaraja tersebut, yang hingga saat ini masih dikuasai oleh pengusaha Edward Soeryadjaya, dan sertifikat HGB No. 32 sebagai sertifikat HGB No. 31 yang dilaporkan hilang pada 2000. [Ant/L-8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar