Rabu, 03 Oktober 2012

Hindari Eksploitasi, Buruh Perlu Dilindungi

Dewasa ini, buruh migran perempuan dari Indonesia yang keluar negeri sangatlah banyak. Feminisasi migrasi internasional ini ditunjukkan dengan besarnya angka buruh migrant perempuan (70% dari total buruh migrant Indonesia) (Rosenberg, 2003,44).

Sebagai sesama Negara berkembang, Indonesia mempunyai kesamaan dengan Philipina dalam hal terjadinya factor-faktor penyebab feminisasi buruh migran. Dalam A Comparative Study Of Women Trafficked in Migran Process, para peneliti Philipina mencatat beberapa factor penyebab meningkatnya migrasi perempuan ke luar negeri. Faktor-faktor tersebut adalah; (1) perkembangan ekonomi yang pesat di negara-negara tujuan dan meningkatnya permintaan terhadap buruh migrant perempuan; (2) kebijakan migrasi tenaga kerja resmi dari pemerintah, dimana perekrutan perempuan secara aktif digalakkan melalui kerja sama dengan agen perekrut tenaga kerja; (3) Stereotip gender terhadap perempuan dalam situasi kerja yang mencerminkan peran tradisional mereka sebagai pengasuh dan penghibur; (4) meningkatnya kemiskinan dalam konteks program penyesuaian struktural yang menyebabkan penduduk pedesaan kehilangan tanah dan menjadi miskin, sehingga mendorong lebih banyak perempuan untuk memasuki pasar tenaga kerja; (5) kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri yang memungkinkan perempuan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, meningkatkan ketrampilan dan memperoleh masa depan yang lebih menjamin; (6) meningkatnya ketergantungan keluarga pada perempuan untuk memperoleh pendapatan, khususnya dari keluarga yang kurang mampu.

Khususnya faktor kedua, meskipun terdapat pelarangan pengiriman buruh migrant informal pada bulan Februari 2003 oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Jacob Nuwa Wea) dengan asalan rendahnya mutu buruh migran Indonesia, namun ia tidak membahas pelarangan itu bukan merupakan alternatif terbaik dalam penyelesaian eksploitasi terhadap buruh migran di negara lain karena pelarangan itu hanya akan menimbulkan semakin banyaknya buruh migran illegal ke luar negeri (Hugo,2002,177). Peningkatan buruh migrant memang diperlukan, tetapi lebih essensiil adalah bagaimana perlindungan dapat diberikan terhadap buruh migrant tersebut baik semasih ada di Indonesia, setelah berada di luar negeri dan juga setelah kembali ke Indonesia.

Perlindungan terhadap buruh migrant tersebut sangat diperlukan mengingat banyaknya eksploitasi yang dialami buruh migrant dari tahap perekrutan sampai mereka kembali ke Indonesia.

Kebijakan Gender

Ada beberapa alasan mengapa diperlukan kebijakan yang berprespektif gender; (a) mempersoalkan ketidakadilan sampai pada persoalkan sistem, struktur dan praktek-praktek yang sudah mapan merupakan kajian utama dari analisis gender; (b) mempercayai bahwa sistem, struktur dan praktek-praktek yang tidak adil tersebut dapat diubah sesuai dengan apa yang menjadi inti pemahaman gender dimana konstruksi sosial yang menyebabkan ketidakadilan selalu dapat diubah; (c) salah satu aliran dalam feminisme, yaitu marxis feminis percaya bahwa eksploitasi dan ketidakadilan dalam sistem capital tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendekatan gender, tetapi perlu membedah inti pokok permasalahan yaitu eksploitasi oleh the have kepada the have not.

Sebagaimana salah satu ciri metode hukum berprespektif gender, maka didalamnya mengakomodasi suara individu atau kelompok yang tertindas atau tereksploitasi khususnya suara perempuan yang merupakan jumlah terbesar dalam permasalahan TKI. Dengan demikian memakai perspektif gender berarti memberikan ruang pada kelompok yang rentan untuk didengar suaranya dan dijadikan masukan dalam menyusun suatu kebijakan. Dengan kata lain indikator keberhasilan suatu kebijakan adalah keberpihakkan kepada kaum yang rentan (buruh, laki-laki terutama perempuan) sebagai satu indikator utama (Prihatinah, 2004).

Untuk itu diperlukan paradigma baru yang semula melihat buruh migran sebagai sumber devisa menjadi paradigma hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan output paradigma devisa adalah aturan-aturan yang dibuat lebih bernuansa tata niaga, tidak melihat buruh sebagai manusia. Ketentuan ini nampak dalam bilateral agreement tahun 1998 antara Indonesia dan Malaysia tentang Ketentuan Penyimpanan Paspor Buruh oleh Majikan. Ini artinya sama saja dengan penyanderaan. Paspor buat orang asing yang berada di luar negeri adalah sangat diperlukan, seperti halnya Surat Izin Mengendarai (SIM) buat pengendara mobil atau motor untuk keperluan mobilitas. Aturan ini sama saja menghalangi hak-hak buruh migran kita dan sering menjadi alat eksploitasi oleh majikan bahkan menjadi sasaran pemerasan para polisi Malaysia.

Upaya Perlindungan

Ada beberapa upaya perlindungan yang harus dilakukan antara lain. (1) ditingkat institusi terkait antara lain, mengalokasikan dana APBD untuk membuat peraturan di tingkat daerah yang mengatur buruh migrant; sosialiasi produk hukum yang berkenaan dengan buruh migran, pembekalan calon buruh migran atas kesadaran hak-haknya, pembekalan proses pengaduan dari awal tahap pengiriman sampai pulang. (2) memperbesar alokasi dana untuk penelitian dan pembentukan pusat layanan pada korban buruh migran. (3) meningkatkan penegakan hukum, antara lain dilakukan dengan melakukan penuntutan dan penjatuhan hukuman yang berat kepada pelaku eksploitasi terhadap buruh migran; pemberian training dan pelatihan kepada aparat penegak hukum tentang masalah buruh migran; melakukan penyuluhan hukum tentang masalah buruh migran

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...