Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;
1) melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2) melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3) melalui Permohonan Restitusi.
1) Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam Bab XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal 101. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa, “Jika
suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang
lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan
untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara
pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Pada saat korban
tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka
Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP).
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan
kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat
kekuatan hukum tetap (lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga
apabila Putusan terhadap perkara pidana diajukan Banding maka Putusan
Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP).
Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan
banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan banding (lihat Pasal 100 ayat [2] KUHAP).
Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
2) Mekanisme
lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa dengan
model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini, Penggugat,
dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan
Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang dilakukan oleh Pelaku
(Tergugat).
3) Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (“PP 44/2008”), dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7 ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008
Berdasarkan PP
44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau setelah
pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008)
Permohonan
Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam
bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada
Pengadilan melalui LPSK
Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP 44/2008 memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas pemohon;
b. uraian tentang tindak pidana;
c. identitas pelaku tindak pidana;
d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk Restitusi yang diminta.
Permohonan Restitusi harus dilampiri:
a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. bukti
biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang
disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau
pengobatan;
d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;
f. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan
g. surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.
Jika permohonan
Restitusi di mana perkaranya telah diputus pengadilan dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka permohonan Restitusi harus
dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.
Apabila permohonan
tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap maka akan ada pemeriksaan
substantif dan hasil pemeriksaan tersebut ditetapkan dengan Keputusan
LPSK beserta pertimbangannya yang disertai rekomendasi untuk mengabulkan
permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Apabila permohonan
Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK
menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya
kepada pengadilan yang berwenang
Setelah LPSK
mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan memeriksa dan
menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima;
Pengadilan setelah
memeriksa mengeluarkan penetapan yang disampaikan ke LPSK dan LPSK wajib
menyampaikan salinan penetapan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau
Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
menerima penetapan.
Apabila permohonan
Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan
permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada
penuntut umum. Penuntut umum kemudian dalam tuntutannya mencantumkan
permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
Putusan Pengadilan
yang dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat
7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan;
LPSK menyampaikan
salinan putusan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan
kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.
Pelaku tindak
pidana dan/atau pihak ketiga wajib melaksanakan penetapan atau putusan
pengadilan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima;
Pelaku tindak
pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi kepada
pengadilan dan LPSK dan LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan
pengadilan
Setelah proses tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman pengadilan.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
4. Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar