Banjir Nuh, yang disebutkan
dalam hampir seluruh kebudayaan, adalah satu contoh yang paling banyak
diuraikan dalam Al Qur-an. Keengganan umat Nabi Nuh terhadap nasihat dan
peringat-annya, reaksi mereka terhadap risalah Nabi Nuh, serta
peristiwa banjir selengkapnya, semua diceritakan secara rinci dalam
banyak ayat Al Quran. Nabi Nuh diutus untuk mengingatkan umatnya yang
telah mening-galkan ayat-ayat Allah dan menyekutukan-Nya, dan mengajak
mereka menyembah Allah semata dan menghentikan pembangkangan mereka.
Meskipun Nabi Nuh telah berkali-kali menasihati umatnya agar menaati
perintah Allah serta mengingatkan akan kemurkaan Allah, mereka masih
saja menolak dan terus menyekutukan Allah. Dalam Surat Al Mu’mi-nuun,
perkembangan peristiwa itu dilukiskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu ia
berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa
(kepada-Nya)? Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya
men-jawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang
bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau
Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum
pernah kami mendengar seruan (seruan yang seperti) ini pada masa nenek
moyang kami yang dahulu.
Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila,
maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu. Nuh berdoa,
“Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendusta-kanku.” (QS. Al
Mu’minuun, 23: 23-26) !
Sebagaimana dikemukakan dalam ayat-ayat tersebut, pemuka ma-syarakat
di sekitar Nabi Nuh menuduh Nabi Nuh berusaha meraih ke-unggulan atas
kaumnya, yakni, mencari keuntungan pribadi seperti status, kekuasaan,
dan kekayaan, dan mereka mencoba menunjuk dia sebagai “kesurupan”, dan
mereka memutuskan untuk membiarkannya sementara waktu, dan menekannya.
Karena itulah, Allah menyampaikan pada Nuh bahwa mereka yang menolak
kebenaran dan melakukan kesalahan akan dihukum dengan ditenggelamkan,
dan mereka yang beriman akan diselamatkan. Maka, pada saat hukuman
datang, air dan aliran yang sangat deras muncul dan menyembur dari dalam
tanah, dibarengi dengan hujan yang sangat lebat, menyebabkan banjir
dahsyat. Allah memerintahkan kepada Nuh untuk “menaikkan ke atas perahu
pasangan-pasangan dari setiap jenis, jantan dan betina, serta
keluarganya, kecuali mereka yang menen-tang apa yang telah dinyatakan
wahyu”. Seluruh manusia di daratan tersebut ditenggelamkan, termasuk
“anak laki-laki” Nabi Nuh yang semula berpikir bahwa dia bisa selamat
dengan berlindung ke gunung terdekat. Semuanya tenggelam kecuali yang
naik ke perahu bersama Nabi Nuh. Ketika air surut di akhir banjir, dan
“kejadian telah berakhir”, perahu terdampar di Judi, yaitu sebuah tempat
yang tinggi, sebagaimana yang diinformasikan Al Quran kepada kita.
Studi arkeologis, geologis, dan historis menunjukkan bahwa peris-tiwa
tersebut terjadi sebagaimana diceritakan Al Quran. Banjir tersebut juga
digambarkan secara hampir serupa pada banyak catatan
peradaban-peradaban masa lalu dan dalam banyak dokumen sejarah, meski
ciri-ciri dan nama-nama tempat beragam, dan “semua yang terjadi pada
manusia yang salah” disajikan untuk manusia saat ini sebagai peringatan.
Di samping dikemukakan dalam Perjanjian Lama dan Baru, kisah tentang
banjir Nuh ini diungkap secara serupa dalam catatan-catatan sejarah
Sumeria dan Asiria-Babilonia, dalam legenda-legenda Yunani, dalam epik
Shatapatha Brahmana dan Mahabarata dari India, dalam beberapa legenda
Wales di Kepulauan Inggris, dalam Nordic Edda, dalam legenda-legenda
Lithuania, dan bahkan dalam cerita-cerita yang berakar dari Cina.
Bagaimana mungkin cerita-cerita yang begitu rinci dan relevan dapat
dikumpulkan dari berbagai daratan yang jauh secara geografis dan budaya,
saling berjauhan sesamanya, juga dengan wilayah banjir? Jawabannya
jelas: Fakta bahwa peristiwa yang sama dituturkan dalam berbagai catatan
sejarah berbagai bangsa tersebut, yang kecil kemungkinan saling
berkomunikasi, merupakan bukti nyata bahwa mereka menerima pengetahuan
dari sebuah sumber ilahiah. Tampak bahwa Banjir Nuh, salah satu kejadian
terbesar dan paling destruktif dalam sejarah, telah diwartakan oleh
banyak nabi yang diutus ke pelbagai peradaban dengan tujuan untuk
memberi contoh. Dengan demikian, berita tentang banjir Nuh tersebar ke
berbagai kebudayaan. Namun, walau banyak diriwayatkan dalam berbagai
budaya dan sumber ajaran berbagai agama, cerita tentang banjir dan Nabi
Nuh itu telah banyak berubah dan membias dari kisah aslinya karena
kepalsuan sumber, kekeliruan penyampaian, atau bahkan mungkin karena
tujuan yang tidak benar. Riset menunjukkan bahwa di antara sekian banyak
riwayat yang menuturkan peristiwa tersebut dengan berbagai perbedaan,
penggambaran paling konsisten hanya terdapat dalam Al Quran.
Nabi Nuh dan Banjir dalam Al Quran
Banjir Nuh disebutkan dalam banyak ayat di dalam Al Quran. Di bawah
ini bisa dilihat ayat-ayat yang disusun berdasarkan urut-urutan
peristiwa banjir tersebut:
Ajakan Nabi Nuh atas Kaumnya kepada Agama Kebenaran
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia
berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan
bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku
takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat)’.” (QS. Al
A’raaf, 7: 59) !
“Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku
sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka ber-takwalah kepada
Allah dan taatlah kepadaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 107-110) !
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya.
Lalu ia berkata “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena)
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa ka-mu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Al Mu’minuun, 23: 23) !
Peringatan Nabi Nuh kepada Kaumnya akan Hukuman dari Allah
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang ke-padanya
azab yang pedih.” (QS. Nuh, 71: 1) ! “Kelak kamu akan mengetahui siapa
yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa
azab yang kekal.” (QS. Huud, 11: 39) !
Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku
kha-watir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedih-kan.
(QS. Huud, 11: 26) !
Pembangkangan Kaum Nabi Nuh
“Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: ‘Sesungguhnya kami memandang kamu
berada dalam kesesatan yang nyata’.” (QS. Al A’raaf, 7: 60) !
“Mereka berkata: ‘Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah de-ngan
kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka
datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar’.” (QS. Huud, 11: 32) !
“Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin ka-umnya
berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkata Nuh: ‘Jika kamu
mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) menge-jekmu sebagaimana kamu
sekalian mengejek (kami)’.” (QS. Huud, 11: 38) !
“Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya men-jawab:
‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud
hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah
menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah
kami mendengar seruan (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang
kami yang dahulu. Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang
berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu
waktu’.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 24-25) !”
“Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh, maka
mere-ka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan: ‘Dia seorang gila
dan dia sudah pernah diberi ancaman’.” (QS. Al Qamar, 54: 9) !
Penghinaan terhadap Para Pengikut Nabi Nuh
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami
tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti
kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan
orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan
kami tidak melihat kamu memi-liki sesuatu kelebihan apa pun atas kami,
bahkan kami yakin bah-wa kamu adalah orang-orang yang dusta’.” (QS.
Huud, 11: 27) !
“Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal
yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” Nuh menja-wab:
“Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan?” Perhitungan
(amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu
menyadari. Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang
beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang
menjelaskan.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 111-115) !
Peringatan Allah agar Nabi Nuh Tidak Bersedih
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan
beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja),
karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka
kerjakan.” (QS. Huud, 11: 36) !
Doa Nabi Nuh
“Maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan
selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku.” (QS.
Asy-Syu’araa’, 26: 118) !
“Maka dia mengadu kepada
Tuhannya: ‘Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab
itu tolonglah (aku)’.” (QS. Al Qamar, 54: 10) !
“Nuh berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaum-ku
malam dan siang. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari
kebenaran)’.” (QS. Nuh, 71: 5-6) !
“Nuh berdoa: ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendusta-kan aku’.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 26) !
“Sesungguhnya Nuh telah menyeru Kami: Maka sesungguhnya
seba-ik-baik yang memperkenankan (adalah Kami).” (QS. Ash-Shaaffaat: 75)
!
Pembuatan Bahtera
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang zalim
itu, sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Huud, 11: 37) !
Penghancuran Umat Nabi Nuh dengan Cara Ditenggelamkan
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami teng-gelamkan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesung-guhnya mereka adalah
kaum yang buta (mata hatinya).” (QS. Al A’raaf, 7: 64) !
“Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 120) !
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya,
maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang
zalim.” (QS. Al Ankabuut, 29: 14) !
Dibinasakannya Putra Nabi Nuh
Sehubungan dengan dialog antara Nabi Nuh dan putranya, pada permulaan banjir, Al Quran mengungkapkan:
“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang lak-sana
gunung, dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat
jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab:
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari
air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab
Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi
penghalang antara ke-duanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang
yang diteng-gelamkan.” (QS. Huud, 11: 42-43)
Diselamatkannya Orang-Orang yang Beriman dari Banjir
“Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 119) !
“Maka kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan
kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia.” (QS. Al
Ankabuut, 29: 15) ! Bentuk Fisik dari Banjir yang Terjadi
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang
tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata-mata air, maka
bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh te-lah ditetapkan.
Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan
paku.” (QS. Al Qamar, 54: 11-13)
“Hingga apabila perintah Kami datang dan ‘dapur’ (permukaan bu-mi
yang memancarkan air hingga menyebabkan timbulnya taufan) telah
memancarkan air, Kami berfirman: “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari
masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu,
kecuali orang yang telah terdahulu kete-tapan terhadapnya dan (muatkan
pula) orang-orang yang beriman.”
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. Dan Nuh berkata:
“Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu
berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka
dalam gelombang lak-sana gunung, dan Nuh memanggil anaknya sedang anak
itu berada di tempat jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal)
bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”
(QS. Huud, 11: 40-42) !
“Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah
peni-likan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang
dan ‘tannur’ telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera
itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali
orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara
mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang
zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.” (QS. Al
Mu’minuun, 23: 27)
Terdamparnya Perahu di Tempat yang Tinggi
“Dan difirmankan: “Hai bumi tahanlah airmu, dan hai langit
(hujan) berhentilah,” dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan
dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan:
‘Binasa-lah orang-orang yang zalim’.” (QS. Huud, 11: 44)
Pelajaran dari Peristiwa Banjir
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung),
Kami bawa (nenek moyang) kamu ke dalam bahtera, agar Kami jadi-kan
peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga
yang mau mendengar.” (QS. Al Haaqqah, 69:11-12)
Pujian Allah terhadap Nabi Nuh
“Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam”.
Sesungguh-nya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 79-81)
Apakah Banjir itu Bencana Lokal atau Global ?
Mereka yang menolak terjadinya Banjir Nuh mendukung pendirian mereka
dengan menyatakan bahwa banjir atas seluruh dunia adalah mus-tahil.
Namun, penyangkalan mereka atas banjir apa pun juga ditujukan untuk
menyerang Al Quran. Menurut mereka, semua kitab yang diwah-yukan,
termasuk Al Quran, sepertinya mempertahankan terjadinya banjir global
dan karenanya keliru. Namun, penolakan terhadap Al Quran ini tidak
benar. Al Quran di-wahyukan oleh Allah, dan merupakan satu-satunya kitab
suci yang tidak terubah. Al Quran memandang Banjir dengan sudut pandang
yang sangat berbeda dibandingkan Pentateuch dan legenda-legenda lain
tentang banjir yang diriwayatkan dalam berbagai kebudayaan. Penta-teuch,
yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, menyatakan bahwa banjir
tersebut bersifat global; menutupi seluruh bumi. Namun, Al Quran tidak
memberikan keterangan seperti itu, sebaliknya ayat-ayat tentang
peristiwa ini membawa pada kesimpulan bahwa banjir itu bersi-fat
regional dan tidak menutupi seluruh bumi, namun hanya meneng-gelamkan
umat Nabi Nuh saja yang telah diberi peringatan, lalu dihukum.
Ketika riwayat-riwayat tentang Banjir dalam Perjanjian Lama dan Al
Quran diuji, perbedaannya sederhana saja. Perjanjian Lama, yang telah
mengalami banyak perubahan dalam penambahan sepanjang sejarah-nya,
sehingga tidak dapat dinilai sebagai wahyu yang orisinil, menggam-barkan
bagaimana banjir berawal dalam uraian berikut:
Dan Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia di bumi adalah besar,
dan bahwa setiap imajinasi dari pikiran-pikiran dalam hatinya hanya
selalu perbuatan jahat. Dan ini menjadikan Allah menyesali bahwa Dia
telah menciptakan manusia di bumi, dan ini menyedih-kan hati-Nya. Dan
Tuhan berkata, “Aku akan membinasakan manu-sia yang telah kuciptakan
dari permukaan bumi; kedua jenis yang ada, manusia dan binatang, dan
segala yang merayap, dan unggas-unggas di udara, yang karena telah
mengecewakan-Ku yang telah menciptakan mereka. Akan tetapi, (Nabi) Nuh
mendapatkan kasih sayang di mata Tuhan. (Kejadian, 6: 5-8)
Namun, dalam Al Quran, jelas ditunjukkan bahwa tidak seluruh
dunia, tetapi hanya umat Nabi Nuh yang dihancurkan. Sebagaimana Nabi Hud
diutus hanya untuk kaum ‘Ad (QS. Huud, 11:50),
Nabi Shalih diutus untuk kaum Tsamud (QS. Huud, 11:61), serta seluruh
nabi sebelum Mu-hammad hanya diutus untuk umat mereka saja, Nabi Nuh
hanya diutus kepada umatnya dan banjir tersebut hanya memusnahkan umat
Nabi Nuh:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia
berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi
kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesung-guhnya aku khawatir
kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (QS. Huud,
11: 25-26)
Mereka yang dimusnahkan adalah orang-orang yang sepenuhnya menolak
pernyataan kerasulan Nuh dan berkeras menentang. Ayat-ayat yang senada
cukup gamblang:
“Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian kami selamatkan dia dan
orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah
kaum yang buta (mata hatinya).” (QS. Al A’raaf, 7: 64)
Di samping itu, dalam Al Quran, Allah menegaskan bahwa Dia tidak akan
menghancurkan suatu umat kecuali telah diutus seorang rasul kepada
mereka. Penghancuran hanya terjadi jika seorang pemberi per-ingatan
telah sampai kepada suatu kaum, dan ia didustakan. Allah me-nyatakan
dalam Surat Al Qashash:
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota;
kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan keza-liman.” (QS. Al
Qashash, 28: 59)
Allah tidak akan menghancurkan suatu kaum sebelum menurunkan rasul
kepada mereka. Sebagai pemberi peringatan, Nuh hanya diutus untuk
kaumnya. Karena itu, Allah tidak menghancurkan kaum-kaum yang belum
diutus rasul, hanya umat Nabi Nuh. Dari pernyataan-pernyataan dalam Al
Quran, kita bisa memastikan bahwa banjir Nuh adalah bencana regional,
bukan global. Penggalian-penggalian pada daerah-daerah arkeologis yang
diperkirakan sebagai lo-kasi terjadinya banjir yang akan kita bahas
berikutnya menunjukkan bah-wa banjir tersebut bukanlah sebuah peristiwa
global yang mempengaruhi seluruh bumi, akan tetapi merupakan sebuah
bencana yang sangat luas yang mempengaruhi bagian tertentu dari wilayah
Mesopotamia.
Apakah Seluruh Binatang Dinaikkan ke atas Perahu?
Para penafsir Bibel yakin bahwa Nabi Nuh memasukkan seluruh spesies
binatang di muka bumi ke atas perahu dan binatang-binatang itu bisa
selamat dari kepunahan berkat Nabi Nuh. Menurut keyakinan ini, sepasang
dari tiap spesies penghuni daratan dibawa bersama ke atas pe-rahu.
Mereka yang mempertahankan pernyataan ini sudah tentu harus menghadapi
banyak kejanggalan serius dalam berbagai hal. Pertanyaan tentang
bagaimana binatang yang diangkut itu diberi makan, bagaimana mereka
ditempatkan di dalam perahu itu, atau bagaimana mereka di-Pisahkan satu
sama lain mustahil dapat terjawab. Lagi pula, masih ada pertanyaan:
Bagaimana binatang-binatang dari berbagai benua yang berbeda dapat
dibawa bersamaan – berbagai mamalia di kutub, kanguru dari Australia,
atau bison yang ada di Amerika? Juga, lebih banyak lagi pertanyaan
menyusul, seperti bagaimana binatang yang sangat berba-haya – yang
berbisa seperti ular, kalajengking, dan binatang-binatang buas bisa
ditangkap, serta bagaimana mereka dapat bertahan terpisah dari habitat
alamiahnya hingga banjir itu surut?
Inilah berbagai pertanyaan yang dihadapi Perjanjian Lama. Dalam Al
Quran, tidak ada pernyataan yang mengindikasikan bahwa seluruh spe-sies
binatang di muka bumi dinaikkan ke atas perahu. Dan sebagaimana telah
ditegaskan sebelumnya, banjir tersebut hanya terjadi pada suatu wi-layah
tertentu, sehingga binatang yang dinaikkan ke perahu pun hanya-lah yang
hidup di wilayah umat Nabi Nuh tinggal. Meski demikian, jelas mustahil
sekalipun hanya untuk mengumpul-kan seluruh jenis binatang yang hidup di
wilayah tersebut. Sukar membayangkan bahwa Nabi Nuh beserta sejumlah
kecil orang-orang beriman yang menyertainya (QS. Huud, 11: 40)
menyebar ke segala
penjuru untuk mengumpulkan masing-masing dua ekor dari ratusan spesies
binatang di sekitar mereka. Bahkan, lebih mustahil lagi bagi mereka
untuk mengumpulkan berbagai tipe serangga yang hidup di wilayah mereka,
apatah lagi untuk memisahkan antara yang jantan dan betina! Inilah
alasan mengapa lebih memungkinkan jika yang dikumpulkan itu hanya
binatang yang mudah ditangkap dan dipelihara, dan karenanya, merupa-kan
binatang ternak yang secara khusus berguna bagi manusia. Nabi Nuh
agaknya menaikkan ke atas perahu binatang sejenis itu, seperti sapi,
biri-biri, kuda, unggas, unta, dan sejenisnya, karena inilah
binatang-binatang yang dibutuhkan untuk menyangga kehidupan baru di
wilayah yang telah kehilangan sejumlah besar prasarana hidup karena
Banjir tersebut. Poin penting di sini adalah bahwa kebijaksanaan ilahiah
dalam pe-rintah Allah kepada Nabi Nuh untuk mengumpulkan berbagai
binatang adalah untuk menunjang kehidupan baru setelah banjir berakhir,
bukan untuk kepentingan mempertahankan genus berbagai binatang. Selama
banjir itu bersifat regional, maka kepunahan berbagai jenis binatang
tidak akan mungkin terjadi. Besar kemungkinan, setelah banjir, berbagai
binatang dari wilayah-wilayah lain perlahan-lahan akan bermigrasi ke
wilayah tersebut dan kembali memadati daerah itu sebagaimana
sebe-lumnya. Yang penting adalah kehidupan yang akan dirintis kembali
begi-tu banjir berakhir, dan binatang-binatang yang dikumpulkan
dimaksud-kan untuk tujuan ini.
Berapa Tinggikah Banjir Tersebut?
Perdebatan lain di seputar Banjir itu adalah, apakah ketinggian air cukup untuk menenggelamkan gunung?
Sebagaimana diketahui, Al Quran menginformasikan kepada kita bahwa
perahu Nabi Nuh itu terdampar di “Al Judi” seusai banjir. Umumnya, kata
“Judi” dirujuk sebagai lokasi gunung tertentu, sementara kata itu
berarti “tempat yang tinggi atau bukit” dalam bahasa Arab. Karenanya,
jangan dilupakan bahwa dalam Al Quran, “Judi” bisa jadi tidak digunakan
sebagai nama gunung tertentu, akan tetapi untuk mengisyaratkan bahwa
perahu Nuh telah terdampar pada suatu ketinggian. Di samping itu, makna
kata “judi” yang disebutkan di atas mungkin juga menunjukkan bahwa air
bah itu mencapai ketinggian tertentu, tetapi tidak mencapai ketinggian
pun-cak gunung. Dengan kata lain bahwa banjir itu kemungkinan besar
tidak menenggelamkan seluruh bumi dan semua gunung-gunung sebagai-mana
digambarkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya menggenangi wilayah
tertentu.
Lokasi Banjir Nuh
Daratan Mesopotamia diduga kuat sebagai lokasi Banjir Nuh. Di sini
terdapat peradaban tertua yang dikenal sejarah. Lagi pula, karena berada
di antara sungai Tigris dan Eufrat, secara geografis tempat ini sangat
memungkinkan terjadinya sebuah banjir besar. Di antara faktor penyebab
terjadinya banjir besar kemungkinan karena kedua sungai ini meluap dan
membanjiri wilayah tersebut. Alasan kedua, daerah tersebut diduga kuat
sebagai tempat terjadinya banjir bersifat historis. Dalam catatan
sejarah berbagai peradaban manu-sia di wilayah tersebut, banyak dokumen
yang ditemukan merujuk pada sebuah banjir yang terjadi dalam periode
yang sama. Setelah menyak-sikan kebinasaan kaum Nabi Nuh,
peradaban-peradaban tersebut agak-nya merasa perlu mencatat dalam
sejarah mereka, bagaimana bencana itu terjadi, serta akibat-akibat yang
ditimbulkannya. Diketahui pula bahwa mayoritas legenda tentang banjir
tersebut berasal dari Mesopotamia. Lebih penting lagi bagi kita adalah
temuan-temuan arkeologis. Temuan-temuan tersebut membenarkan terjadinya
sebuah banjir besar di wilayah ini. Sebagaimana akan kita bahas secara
rinci pada halaman-halaman be-rikut, banjir ini telah menyebabkan
tertundanya peradaban selama perio-de tertentu. Dalam
penggalian-penggalian yang dilakukan, tersingkap jejak-jejak nyata
sebuah bencana dahsyat.
Penggalian-penggalian di wilayah Mesopotamia mengungkap bahwa
berkali-kali dalam sejarah, wilayah ini diserang berbagai bencana
sebagai akibat dari banjir dan meluapnya Sungai Eufrat dan Tigris.
Misal-nya, pada alaf kedua Sebelum Masehi (SM), pada masa Ibbisin,
penguasa negeri Ur yang luas, yang berlokasi di sebelah selatan
Mesopotamia, sebuah tahun tertentu ditandai dengan “pasca Banjir yang
melenyapkan garis batas antara langit dan bumi”.1 Sekitar 1700 SM, pada
masa kekua-saan Hamurabi dari Babilonia, sebuah tahun ditandai dengan
terjadinya peristiwa “kehancuran kota Eshnunna oleh air bah”. Pada abad
ke-10 SM, pada masa pemerintahan Nabu-mukin-apal, sebuah banjir terjadi
di kota Babilon.2 Setelah zaman Nabi Isa (Jesus) pada abad ke-7, ke-8,
ke-10, ke-11, dan ke-12, banjir-banjir yang bersejarah terjadi di
wilayah tersebut. Dalam abad ke-20, kejadian serupa terjadi pa-da tahun
1925, 1930, dan 1954.3 Jelaslah bahwa wilayah ini telah senantiasa
diserang bencana banjir, dan sebagaimana ditunjukkan dalam Al Quran,
sangat mungkin suatu banjir besar-besaran telah membinasa-kan suatu
komunitas secara keseluruhan.
Bukti-Bukti Arkeologis tentang Banjir
Bukanlah suatu kebetulan bila sekarang ini kita menemukan jejak-jejak
dari kebanyakan kaum yang menurut Al Quran telah dibinasakan.
Bukti-bukti arkeologis menyajikan fakta, bahwa semakin mendadak
ke-hancuran suatu kaum, semakin memungkinkan bagi kita untuk men-dapati
sebagian bekasnya. Jika sebuah peradaban hancur secara tiba-tiba, yang
dapat terjadi ka-rena bencana alam, emigrasi yang mendadak, atau perang,
jejak-jejak peradaban ini sering dapat lebih terpelihara. Rumah-rumah
yang pernah mereka huni, peralatan-peralatan yang pernah mereka gunakan
dalam kehidupan sehari-hari, segera akan terkubur. Maka, semua itu dapat
terpelihara dalam waktu yang lama tanpa tersentuh tangan manusia, dan
menjadi bukti penting tentang masa lampau bila dikeluarkan.
Jadi begitulah hingga banyak bukti tentang Banjir Nabi Nuh ter-ungkap
saat ini. Diperkirakan terjadi sekitar alaf ke-3 SM, Banjir itu telah
mengakhiri suatu peradaban seluruhnya dengan seketika, dan selanjut-nya
menyebabkan lahirnya sebuah peradaban baru sebagai gantinya. Jadi,
bukti-bukti nyata tentang Banjir ini telah terpelihara selama ribuan
tahun agar kita bisa mengambil pelajaran darinya. Banyak penggalian
telah dilakukan untuk menyelidiki banjir yang telah menenggelamkan
daratan-daratan Mesopotamia. Dalam berbagai penggalian di wilayah
tersebut, di empat kota utama ditemukan jejak-je-jak yang menunjukkan
terjadinya sebuah banjir besar. Kota-kota tersebut ada-lah kota-kota
penting di Mesopotamia; Ur, Erech, Kish, dan Shuruppak.