Penelitian beberapa janis bambu dari Jawa menunjukkan bahwa bambu apus dan bambu wulung lebih tahan terhadap serangan bubuk dibanding dengan bambu petung dan bambu ampel. Hal tersebut disebabkan karena kandungan pati di dalam jaringan bambu ampel dan petung lebih tinggi dibanding dengan bambuapus dan bambu wulung. Masing-masing jenis bambu mempunyai kandungan pati yang berbeda, rata-rata prosentase kandungan pati dari empat jenis bambu selama setahun, bambu ampel mengandung pati rata-rata tertinggi 3,14%, kemudian diikuti bambu petung 0,83%, bambu wulung 0,37% dan terendah bambu apus0,33% (Sulthoni,1983).
Menebang bambu pada saat yang tepat dapat mengurangi resiko serangan bubuk. Masayarakat pedesaan menggunakan pedoman waktu untuk menebang bambu agar terhindar dari serangan bubuk, yaitu pada waktu mangsa tua, yang umumnya dipilih mangsa ke-10 atau ke-11. hal ini disebabkan kandungan pati(lignin) dalam pembuluh bambu yang menjadi makanan hama bubuk tidaklah sama sepanjang musim, kandungan pati bubuk naik turun mengikuti musim, mangsa ke11 jatuh pada bulan Mei merupakan mangsa paling sedikit serangan hama bubuk (Suthoni,1983).
Usaha pengawetan bamboo secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara merendamnya di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau di air laut dan pengasapan. Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk mencegah serangan jamur (pewarna dan pelapuk) maupun serangga (bubuk kering, rayap kayu kering dan rayap tanah).Untuk mengurangi kadar pati dalam bambu, masyarakat pedesaan biasanya menggunakan cara perendaman dalam air sampai berminggu-minggu tapi makin lama direndam dalam air akan mengurani kekuatan tekan maupun kekuatan lengkungnya (Suthoni, 1983).
Disamping dengan cara perendaman, pengawetan bambu juga dilakukan dengan menggunakan zat kimia yang dikenal dengan proses Boucherie yang ditemukan di India kira-kira 40 tahun yang lalu, proses ini dengan menggunakan pompa air yang sederhana untuk mendorong bahan pengawet yang telah dicampur dengan air kedalam pembuluh bambu, dari bagian pangkal menuju ujung batang. Kandungan air bambu yang manis akan didorong keluar dan digantikan dengan larutan bahan pengawet sehingga (1) bubuk tidak dapat menemukan zat manis sebagai bahan makananya sehingga rayap tidak akan makan bambu atau melubangi bambu dan kemudian bersarang di dalamnya, (2) jika bubuk masih memakan bagian dari bambu atau melubangi bambu dan kemudian bersarang didalamnya, larva yang telah menetas akan mati karena zat yang termakan telah tercampur dengan bahan pengawet (YBLL,Ubud Bali, 1994).
Dinding bambu bangunan pura atau bale banjar di Bali, bisa tahan sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Agar dinding bambu ini bisa tahan cuaca dan rayap, penebangan dan penanganannya haruslah tepat.
Bambu biasa menyimpan cadangan
nutrisi berupa pati dan gula dalam batang. Nutrisi ini akan digunakan
untuk proses pertumbuhan rebung. Pengumpulan nutrisi dilakukan selama
musim penghujan, dan disimpan selama musim kemarau. Pada akhir musim
kemarau dan awal musim penghujan, rebung akan tumbuh. Pertumbuhan rebung
mencapai titik optimum, ketika sudah berupa batang bambu muda, yang
belum memiliki cukup ranting dan daun. Ketika itulah cadangan pati dan
gula pada bambu tua akan terkuras habis. Inilah saat yang tepat untuk
menebang bambu, dan mengolahnya menjadi bahan bangunan.
Bambu
yang ditebang pada saat cadangan nutrisinya habis, pori-porinya akan
kosong hingga tidak disukai hama bubuk. Bambu yang ditebang pada musim
kemarau, cadangan pati dan gulanya akan penuh. Kalau dijadikan bahan
bangunan, akan mudah sekali terserang hama bubuk. Hama ini sangat
menyukai pati dan gula yang ada pada bambu. Biasanya masyarakat
tradisional juga melakukan perendaman bambu dalam lumpur, sebelum
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Bambu yang ditebang ketika cadangan
nutrisinya kosong, pori-porinya akan mudah diisi oleh lumpur. Lumpur
akan sulit masuk ke dalam pori-pori bambu yang masih penuh nutrisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar