“Malpraktek
adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam
ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan
terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan
untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran
tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya
oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan
luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang
cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di
dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan
keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban
hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”
Pada
peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak
ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau
pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul
Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga
Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang
mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti
tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
(1) Dengan
tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap
tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam
hal sebagai berikut:
a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan
sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah
sebagai tenaga kesehatan;
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
Jadi,
dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak
merujuk hanya kepada suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami
akan menjelaskan dengan merujuk pada ketentuan beberapa profesi yang
ada, misalnya:
1. Dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”);
2. Advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”);
3. Notaris sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU Jabatan Notaris”);
4. Akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (“UU Akuntan Publik”).
Setiap
profesi yang telah kami sebutkan juga memiliki kode etik masing-masing
sebagai pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan
perundang-undangan, kode etik biasanya juga dijadikan dasar bagi
organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah ada pelanggaran dalam
pelaksanaan tugas.
Untuk profesi akuntan publik, selain kode etik, ditambah pula dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), yaitu acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya (Pasal 1 angka 11 UU Akuntan Publik).
Seperti juga profesi akuntan publik, profesi dokter dan dokter gigi
juga memiliki peraturan disiplin profesional yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
Atas
segala ketentuan terkait pedoman profesi-profesi di atas (baik yang ada
dalam peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak
yang akan melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran
ketentuan profesi-profesi tersebut. Biasanya terdapat organisasi profesi
atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi profesi tersebut.
Untuk
profesi advokat, pihak yang melakukan pengawasan dan dapat menjatuhkan
sanksi terhadap malpraktik advokat adalah Organisasi Advokat dan Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat (Pasal 26 UU Advokat). Sedangkan untuk profesi Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas (Pasal 67 UU Jabatan Notaris), untuk profesi akuntan publik dilakukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 53 UU Akuntan Publik), dan untuk profesi dokter serta dokter gigi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia).
Organisasi
profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi
biasanya akan menjatuhkan sanksi administratif kepada anggotanya yang
terbukti melanggar kode etik. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa
ia dapat pula dikenakan sanksi pidana apabila terbukti memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang masing-masing
profesi.
Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK berlaku pada mereka:
Pasal 19 ayat (1) UUPK:
“Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi profesi atau badan
khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap
tindakan yang terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan
sanksi.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
5. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik;
8. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi;
9. Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar